Selasa, 28 Oktober 2008

REKAM JEJAK ALUMNI MST PARABEK, HMD DT. Palimo Kayo

Dalam kesejukan pagi, pada tanggal 17 Shafar 1321 H, bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1905 di Pahambatan, Balingka, Kecamatan IV Koto (Kabupaten Agam) lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Mansur. Orang tua berbahagia yang menyambut kelahir¬an putranya kala itu adalah Syekh Daud Rasyidi dan Siti Rajab. Sebagai kepala keluarga, Syekh Daud Rasyidi sudah mengarahkan anaknya supaya taat beragama. Selain itu Syekh senantiasa beru-paya agar semua anak anaknya antara lain; Anah, Mansur, Miramah, Sa’diah, Makmur dan Afifah agar giat belajar.
Salah seorang putranya yaitu: Mansur Daud kemudian tumbuh dalam kerangka kemungkinan yang diberikan oleh latar belakang budaya serta lingkungan keluarga di sekitarnya.
Pembentuk pribadi muslim yang pengaruhnya langsung terhadap Mansur Daud sudah diberikan oleh ayahnya, yang pekerjaannya memang memberikan pengajian dan ceramah ceramah agama. Besarnya perhatian dalam keluarga terhadap pendidikan ini memacu semangat Mansur Daud untuk terus menekuni Islam.
Walaupun waktunya juga dibagi untuk kegiatan keseharian yang lainnya, tetapi, cikal bakal dirinya sebagai seorang pemimpin Muslim sudah mulai terlihat.
Usia tujuh tahun memasuki sekolah Desa di Balingka pada tahun 1912. Pendidikan ini hanya diikuti selama satu tahun. Selanjutn¬ya, beliau pindah ke Lubuk Sikaping dan melanjutkan ke Gouvern¬ment School sampai tahun 1915.
Mansur Daud meninggalkan Lubuk Sikaping, kemudian mempelajari agama Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917. Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan agama Islam.
Usia Mansur Daud masih begitu muda ketika naik haji pada tahun 1923. Dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun, beliau sudah menginjak kota suci Mekah serta langsung belajar agama Islam dengan Syekh Abdul Kadir Al Mandily. Salah seorang Imam Masjidil Haram itulah yang mendidik Mansur Daud selama lebih kurang satu tahun. Tetapi, lantaran adanya perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa kembali pulang ke Indonesia.
Kepulangan itu mengantarkannya kembali menuntut ilmu di perguruan Islam Sumatera Thawalib, Parabek Bukittinggi.
Selama tahun 1924, Mansur Daud mendalami agama di perguruan Islam yang diasuh oleh Ibrahim Musa Parabek. Suasana politik yang tak menentu, yakni menyebarnya pengaruh komunis ke dalam perguruan Sumatera Thawalib, membuat Mansur Daud memutuskan untuk menghindarinya.ahun 1925, Mansur Daud berangkat ke mancanegara, menuju India. Langkah ini ditempuhnya guna menghindari pengaruh komunis kala itu.Selama lebih kurang 5 (lima) tahun, H. Mansur Daud mengembara, menuntut ilmu di India. Pengembaraanya buat sementara ke mancane¬gara usai. Beliau pulang dan sempat singgah di Malaysia. Beliau langsung ke pulau Jawa.Setiba di Jawa Haji Mansur Daud bertemu dengan sejumlah tokoh pimpinan organisasi dan politik antara lain: H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Fakhruddin. Sejak bergabung dengan beberapa tokoh itu, beliau terpacu untuk berkiprah dalam organisasi.
Aktifitas organisasi yang telah dimulainya sekembali dari India sejak tahun 1930 diwujudkan dalam suatu kongres di Sumatera Thawalib, Bukittinggi.
Kongres di Sumatera Thawalib itu mewujudkan Persatuan Muslim Indonesia (PMI). Peranan H. Mansur Daud dapat dikatakan penting. Terbukti dari Jabatan Sekretaris umum yang dipegangnya pada PMI sejak didirikan tahun 1930. H. Mansur Daud kemudian berperan dalam membentuk partai politik Indonesia yaitu Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
Periode penjajahan Jepang memperlihatkan kemajuan aktifitas H. Mansur Daud. Salah satu upayanya adalah membentuk badan koordi¬nasi alim ulama Minangkabau. Badan itu, Majlis Islam Tinggi (MIT), diketuai pertama kali oleh Sykeh Sulaiman Ar Rasuli, yang lebih dikenal dengan Inyiak Canduang.H. Mansur Daud, tetap eksis,terutama sejak M.I.T difusikan ke Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di Yogyakarta pada bulan Februari 1946.Saat Masyumi mendapat tempat dengan keikutsertaan pada pemilihan umum pertama pada tahun 1955, HMD Datuk Palimo Kayo duduk di parlemen selama setahun sampai tahun 1956.
Karir politik HMD Datuk Palimo Kayo di tataran negara semakin melesat ketika pemerintah menunjuknya sebagai Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia (RI) untuk negara Irak sampai tahun 1960.Tanggal 3 Januari 1968, beliau turut mendirikan Yayasan Rumah Sakit Islam (YARSI). Upaya yang dilakukan melalui wadah sosial serupa itu kemudian semakin melengkapi pengabdian HMD Datuk Palimo Kayo dalam memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Hingga akhir hayatnya, Buya HMD Datuk Palimo Kayo senantiasa teguh dalam sikap telitinya, meskipun terhadap hal sekecil sekalipun. Kenyataan tersebut diungkapkan oleh seorang mubalig yang giat mensyiarkan Islam H. Mas’oed Abidin. Tokoh ulama besar ini telah meninggalkan kita buat selama lamanya pada tahun 1988. Namun selama hayatnya beliau tetap memacu semangat dan militansi Islam yang tak kunjung padam.(Dikutip dari : Buya H. Mas'oed Abidin Weblog)

3 komentar:

  1. Anonim3:25 AM

    Assalamualaikum.wm,wb.

    Ambo batanyo ka moderator blog ko, atau siapo2 diantaro pengunjung blog ko,,nan dicaritokan disiko HMD.DTK PALIMO KAYO adokah samo jo Buya DTK Palimo Kayo nan tingga di Jambua aia Taluak Banuampu.nan pernah jadi Ketua Majlis Adat Minangkabau Sumbar..istri beliau Hjh Fatimah dan salah surang anaknyo banamo Naim (namo pnuah lupo).Tarimo kasih sabalumno.

    BalasHapus
  2. Bana, beliau lebih dikenal Buya DT. Palima Kayo, beliau juo pernah memimpin MUI Sumatera Barat.

    BalasHapus
  3. Assalamualakimum Wr Wb,Saya adalah anak salah seorang alumni Perguruan Sumatera Thawalib (Zubairnur)asal Kota Bumi Lampung,ayah saya adalah murid Syekh Ibrahim Musa. saya masih menyimpan dokumen perjalanan (surat izin) pulang ke Lampung dari padang yang ditanda tangani langsung oleh Syekh Ibrahim Musa, saya mendengar cerita dr ayah saya bahwa saat itu situasi sangat genting shingga setiap siswa yg dari luar daerah harus dibekali oleh surat pengantar dari pengasuh perguruan tersebut. Ayah saya meninggal th 1992. Saya ingin menanyakan apakah Perguruan Sumatra Thawalib saat ini masih ada dan masih beroperasi? Terima kasih.

    BalasHapus

Tuliskan Komentar anda disini