Selasa, 28 Oktober 2008

REKAM JEJAK ALUMNI MST PARABEK, A. Gaffar Ismail

Setiap Senin malam di rumahnya, di Pekalongan, orang berduyun-duyun datang untuk mengikuti pengajian yang diadakan olehnya. ''Pengikut pengajian saya tidak hanya dari Pekalongan. Ada juga yang datang dari Semarang dan Linggarjati,'' komentarnya. Tidak heran bila di tahun 1929, oleh pemerintah Belanda ia dijuluki Ashadul Mimbar, atau macan mimbar.
Ayah Penyair Taufiq Ismail ini merupakan anak laki-laki tunggal di antara empat bersaudara. Ia dibesarkan dalam suasana keagamaan di pesantren Sumatera Thawalib (MST Parabek-Pen.). Bersama teman- temannya, antara lain Hamka, Gaffar kemudian menimba ilmu di pesantren yang punya pengaruh kuat di Sumatera Tengah.
Gaffar dikirim ke pesantren bukan ...

hanya karena ayahnya ahli membaca Kitab Suci Quran, tetapi juga karena ayahnya petani miskin. Untuk membiayai kehidupannya sehari-hari, di samping menuntut ilmu, Gaffar berjualan rokok keliling.''Waktu kecil saya ini nakal dan manja. Tahu nggak ., sampai saya lulus dari pesantren pun, tingkah laku saya selalu menjadi perhatian orang. Sehari-hari saya tidak mengenakan sarung dan pici, tetapi memakai celana panjang yang digulung sampai ke dengkul,'' ceritanya.
Teman-temannya di pesantren terdiri atas berbagai umur. Ada yang muda, ada pula yang sudah menikah. Mereka lalu mendirikan Gerakan Pelajar Sumatera Thawalib. Mula-mula hanya bergerak dalam bidang sosial dan ekonomi, tetapi kemudian mulai beranjak pada soal politik, karena didorong oleh pengaruh komunis yang makin merajalela di Sumatera Barat. Akhirnya, gerakan itu menjadi partai Permi (Persatuan Muslimin Indonesia).
Selain sibuk dalam kepartaian, Gaffar aktif sebagai Direktur Hoofd Kwartier Kepanduan Al Hilal. Dan sebagai alumnus pesantren, tahun 1932 Gaffar resmi menjadi guru agama berdasarkan undang-undang. Usianya saat itu baru mencapai 21 tahun. Tahun itu juga Gaffar menuju Pekalongan, Jawa Tengah.
Karena ia mempunyai pengaruh yang cukup luas dalam bidang agama dan politik, pemerintah Jepang ketika itu menaruh perhatian padanya. Juga karena ia ahli dalam bahasa Melayu, pemerintah Jepang memintanya bekerja di surat kabar Sinar Baru Shimbun, sebagai pemimpin redaksi.
Ketika istrinya meninggal, 22 Desember 1982, ia dan anak- anaknya sibuk mengurusi jenazah. Gaffar memandikan sendiri jenazah istrinya. Begitu pula ketika membaringkan jenazah, di liang lahad, ia dan anak-anaknya yang menata dengan baik jenazah istrinya itu.
Abdul Gaffar Ismail meninggal pada Agustus 1998, pada usia 87 tahun. Gaffar meninggalkan tiga anak: Taufiq Ismail, Ida Z Nasution, dan Rahmat Ismail, serta beberapa orang cucu.(sumber: Pusat data dan analisa Tempo)

1 komentar:

  1. jazakumullah khairan telah memberikan informasi mengenai buya abdul gaffar ismail ini. kami merupakan pendengar khutbahnya setiap pagi di radio sabili AM 1530 jakarta dan bertanya-tanya siapakah gerangan beliau ini. alhamdulillah kami menemukan artikel tentang buya di situs ini. syukran katsira.

    BalasHapus

Tuliskan Komentar anda disini